Bertanya Karena Murni Ingin Tahu atau Karena Ingin Membuktikan Eksistensi Dirimu?

 


        Dalam beberapa kegiatan atau acara formal seperti seminar, sarasehan, workshop, dan diklat biasanya akan ada sesi khusus yang diberikan kepada peserta untuk melontarkan pertanyaan kepada narasumber. Tujuan utamanya agar narasumber dapat mengetahui umpan balik dari peserta dan memberikan tanda bahwa inti kegiatan tersebut berjalan dengan baik yaitu materi yang disampaikan bisa diterima dan dipahami oleh seluruh peserta kegiatan. 

    Menurut sumber yang saya dapat di internet dengan bantuan google AI, kegiatan bertanya dapat diartikan sebagai sebuah tindakan untuk meminta informasi atau jawaban dari orang lain melalui ucapan verbal yang merupakan stimulus efektif untuk mendorong kemampuan berpikir.  

    Jika dipahami secara mendalam, bertanya sendiri bisa didefinisikan sebagai sebuah tindakan sadar dan terencana dari seorang individu untuk mengutarakan rasa ingin tahunya tentang suatu hal agar dapat dijawab oleh individu yang dianggap kompeten. Hal ini sangat jelas, jika kita melihat dari sisi pengertian katanya, yaitu kegiatan bertanya dilakukan murni karena rasa ingin tahu dari seseorang. 

    Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana bila seseorang yang melakukan tindakan bertanya atau mengajukan pertanyaan di sebuah forum resmi sebenarnya sudah mengetahui jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan. Ia melakukannya hanya untuk ajang pembuktian eksistensi diri dan bahkan menguji atau memverifikasi dan membandingkan jawaban yang ada di kepalanya dengan jawaban dari narasumber. Apakah menurut teman-teman, itu merupakan tindakan yang kurang tepat?

    Bahasan ini yang menjadi pergumulan saya ketika berkuliah secara daring (online) dulu. Ketika dosen sudah selesai  menjelaskan materinya, saya dan teman-teman  diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan. Sayangnya, kebanyakan dari kami hanya diam membisu, sehingga dosen menganggap kami sudah paham dan seketika itu juga dosenpun melontarkan pertanyaan pemantik yang harus kami jawab. Dari situ, dosen bisa melihat sebenarnya kami belajar atau tidak.  

    Hal ini sering terjadi setiap pertemuan di kelas online. Itulah yang mendorong saya untuk mencoba berusaha mencari-cari pertanyaan agar bisa menjadi bahan diskusi di kelas , supaya terhindar dari pertanyaan mematikan dosen dan juga agar bisa dinotice oleh dosen yang bersangkutan.

    Saya sadar, hal ini bukan sepenuhnya benar, namun bukan juga sepenuhnya salah. Yang menjadi koreksi pemahaman saya adalah, pertanyaan yang timbul murni karena rasa ingin tahu itu didapat bukan karena ingin unjuk gigi atau membuktikan eksistensi diri, tapi didapat karena kita sudah banyak membaca dan menyerap serta memahami informasi. Sehingga, walaupun kita sudah paham, kita bisa memverifikasi pemahaman kita kepada dosen dan juga memastikan apa yang kita pahami itu sudah benar. Karena ketika kita belajar lebih banyak, dan menemui kesulitan, kita bisa langsung menggunakan sesi tanya jawab di kelas untuk bertanya kepada dosen tersebut, bukan berusaha untuk mencari konteks pertanyaan yang sesuai dengan topik yang dibahas di kelas. 

    Sekian tulisan singkat saya, kiranya bisa menjadi wadah diskusi para pembaca di kolom komentar ya.

Continue reading Bertanya Karena Murni Ingin Tahu atau Karena Ingin Membuktikan Eksistensi Dirimu?

Slow Living Bahagia di Salatiga

 


    Istilah 'Slow Living' biasa dikaitkan dengan gaya hidup seseorang yang santai, sederhana, dan apa adanya. Istilah ini sendiri awalnya sempat booming sekitar tahun 2023 pertengahan. Banyak juga konten kreator yang membagikan pengalaman mereka melaui media sosial tentang bagaiamana menjalankan gaya hidup 'Slow Living' di kota-kota tertentu. 

    Nah, berangkat dari fenomena itulah aku jadi tercetus untuk membagikan beberapa pengalaman hidup 'slow living' ku selama menjadi mahasiswa di Kota yang terletak di Lereng Gunung Merbabu, yaitu kota Salatiga. 

    Salatiga sendiri memiliki banyak keistimewaan, selain dari hawa kotanya yang cukup dingin dan sejuk, kota ini juga memiliki letak yang sangat strategis, yaitu terletak di daerah segitiga emas (Jogja, Solo, Semarang) atau dikenal sebagai JogLoSemar. 

    Harga kost-kostan di Salatiga juga relatif terjangkau. Di zamanku ketika mulai awal perkuliahan tatap muka, aku juga beruntung mendapatkan harga kost-kostan yang terbilang sangat murah, yaitu hanya Rp 500.000,00 sudah lengkap dengan fasilitas Wifi, air, listrik, kamar mandi luar, kasur, lemari, meja, dan karpet, serta tempat menjemur pakaian yang terbuka dan terpapar sinar matahari pagi. 

    Untuk makananan enak, murah, dan kenyang juga sudah bisa kita dapatkan mulai dari harga Rp5.000,00 hingga harga Rp15.000,00 tergantung lauk yang dipilih. Jadi soal urusan pangan, jangan khawatir. Jika malas memasak di kost-kostan, kita bisa membeli makanan siap saji. Dulu, ketika awal-awal nge-kost, aku memasak nasi sendiri di kost, kemudian tinggal  membeli lauk pauk di kedai yang dekat dengan kost tempat tinggalku. 

    Salah satu makanan murah meriah yang sering aku beli ada di gambar headline tulisan ini. Nasi Pecel yang sangat murah dengan harga se-porsinya hanya Rp 5.000,00 yang sangat mengenyangkan. Selain itu, ada juga nasi goreng murah kemiri candi yang dibandrol dengan harga Rp 8.000,00 per porsinya untuk satu pirinng full bahkan lebih dari nasi goreng ayam tanpa telur. 

    Banyak sekali hal-hal menarik yang bisa ditemui di kota Salatiga, apalagi ketika kita mau memulai hidup 'Slow living'

Ya, sekian tulisan mengenai gaya hidup 'Slow Living' ini. Biarlah kita bisa merasakannya suatu saaat nanti, dimanapun kita berada. 


]


Continue reading Slow Living Bahagia di Salatiga