Sinar matahari pagi mengantarkan semangat siswa-siswi SD Inpres Kawangu 2 di hari pertama masuk sekolah. Aku sangat senang bisa memulai minggu kerja di awal tahun ajaran baru ini dengan melihat antusias siswa-siswi kelas 1 yang baru.
Orang tua siswa baru berkerumun memantau anak-anak mereka dari kejauhan. Seragam baru dari atas rambut sampai ujung kaki melengkapi semangat anak-anak untuk belajar. Ada juga siswa yang masih harus didampingi orang tua ketika berkumpul di lapangan.
Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) memang belum aktif dilaksanakan dikarenakan Bapa Ibu Guru yang masih fokus dalam kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) selama satu minggu ke depan. Ditambah lagi, masih ada beberapa orang tua / wali murid yang belum melengkapi formulir administrasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Sehingga panitia PPDB perlu menyelesaikan administrasi tersebut.
Ada satu hal yang menarik perhatianku hari ini. Ketika apel pagi dimulai, aku mendapati 2 siswi kelas 1 yang berbaris terpisah dari barisan utama. Ketika aku hampiri dan mengajak mereka bergabung dengan teman-temannya yang lain, tiba-tiba orang tua/wali murid yang berada di sebelah kedua siswi tersebut melarangku untuk membawa mereka bergabung ke barisan siswa kelas 1. "Tidak usah pak Guru, biar mereka disini saja, karena mereka belum terdaftar" ujar bapak tersebut.
Singkat cerita, baru kuketahui bahwasannya kedua siswi tersebut memang tidak bisa mendaftar di SDI Kawangu 2 karena usia mereka yang belum memenuhi syarat. Usia mereka sendiri masih tergolong dini yaitu 5,5 tahun. Sedangkan syarat untuk masuk SD adalah 5,9-7 tahun. Hal ini jelas melanggar aturan dan akan berpengaruh pada status peserta didik tersebut di Sistem Data Pokok Peserta Didik (Dapodik).
Meskipun sudah dijelaskan oleh bapa ibu guru bahkan oleh kepala sekolah sendiri, orang tua/wali murid dari peserta didik ini masih belum terima dan tetap saja memaksa agar putrinya bisa masuk di SD Inpres Kawangu 2.
Sebenarnya solusi dari permasalahan ini sudah sempat disampaikan oleh pihak sekolah kepada orang tua/wali murid siswi tersebut, yaitu dengan menyertakan lampiran surat keterangan dari psikolog bahwa calon peserta didik tersebut memiliki kemampuan atau bakat di atas rata-rata dari anak-anak seusianya. Sehingga mereka bisa mendaftar dan masuk menjadi peserta didik baru. Namun karena orang tua/wali murid tidak menyanggupi, sekolah pun juga tidak bisa menyanggupi permintaannya.
Aku melihat kasus ini dari 2 sisi. Dari sisi orang tua/wali murid yang bersikeras berjuang untuk anak-anaknya agar bisa masuk sekolah impian dan dari sisi pihak sekolah yang bersikeras dan berintegritas pada aturan yang sudah ada dan berlaku serta telah disepakati bersama. Aku sendiri berharap ada jalan terbaik untuk kedua siswi ini.
Kegiatan hari pertama masuk sekolah diawali dengan apel pagi seperti biasa dimana salah satu siswa diminta maju ke depan untuk memimpin apel pagi dan menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya, yang dilanjutkan dengan nyanyian yel-yel karakter untuk anak-anak SD.
Setelah apel pagi, setiap siswa secara berurutan berbaris dan menyalami bapa ibu guru yang ada di depan yang biasanya dimulai dari kelas 1 sampai 6. Hal ini adalah praktik baik yang sudah dilaksanakan sebelum aku bertugas.
Kali ini aku diberikan kesempatan dan diminta untuk membantu mendampingi kegiatan MPLS di kelas 1. Jujur ini pengalaman perdana bagiku, karena sebelumnya aku tidak terlalu terlibat aktif dalam kegiatan MPLS pada tahun kemarin.
Baru aku sadari, betapa beratnya mendampingi siswa/i kelas 1 SD yang baru masuk. Mengajarkan bagaimana sikap dan karakter baik yang harusnya dimiliki oleh siswa yang sudah menyandang status sebagai siswa SD itu sungguhlah tidak mudah. Tantangan utamanya adalah bagaimana kita men-deliver dan mengemas pesan dan informasi supaya bisa diterima dan dipahami oleh bahasa anak-anak.
Perlu suara dan kesabaran yang tinggi untuk bisa menjangkau 40 lebih anak-anak dengan karakter dan sifat yang berbeda-beda. Ditambah lagi anak-anak yang cepat merasa bosan apabila kita terlalu banyak bicara secara monoton.
Disini guru dituntut untuk punya bank materi kreatif yang menyenangkan seperti lagu-lagu, yel-yel, dan permainan sederhana yang memancing emosi dan antusias anak-anak kelas 1.
Dalam kesempatan MPLS hari ini, aku bersyukur bisa memberikan sedikit info mengenai budaya pilah pilih sampah dan kebiasaan 3 R khususnya pembiasaan karakter baik dengan membawa tumbler atau botol minum pribadi dari rumah untuk mengurangi penggunaan plastik.
Anak-anak diawal mungkin bisa lupa, namun jika kita tanamkan terus menerus secara rutin, akan bisa dipraktikan secara sadar oleh mereka dan bisa membudaya.
Sampai jumpa di MPLS hari kedua besok. Terima kasih sudah berkenan membaca teman-teman.
0 comments:
Post a Comment